Sabtu, 07 September 2013

RESENSI NOVEL


RESENSI NOVEL
“NEGERI 5 MENARA”


Resentator :
NURHILALIA

Kelas :
XI IPA 1

SMAN 1 BABELAN
Jl.  Taman Kebalen Indah, Bekasi
2012 - 2013
      I.            Identitas Novel

Judul Novel                           : Negeri 5 Menara
Pengarang                               : A. Fuadi
Penerbit                                 : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                         : Agustus 2010
Cetakaan                                 : ke sepuluh Januari 2011
Kota Terbit                           : Jakarta
Jumlah Halaman                   : 424 hal
Desain dan Ilustrasi cover : Selamet Manginandan
Ilustrasi Peta                         : Doddy R. Nasution
Setting                                    : Rahayu Lestari

   II.            Jenis Buku
Buku yang saya baca ini merupakan inspiratif yang kisah-kisahnya terinspirasi oleh kisah nyata si pengarang .

III.            Sinopsis
Pengarang

Ahmad Fuadi (lahir di Bayur Maninjau, Sumatera Barat, 30 Desember 1972; umur 39 tahun) adalah novelis, pekerja sosial dan mantan wartawan dari Indonesia. Novel pertamanya adalah novel Negeri 5 Menara yang merupakan buku pertama dari trilogi novelnya. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam jajaran best seller tahun 2009. Kemudian meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 dan tahun yang sama juga masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award, sehingga PTS Litera, salah satu penerbit di negeri jiran Malaysia tertarik menerbitkan di negaranya dalam versi bahasa melayu. Novel keduanya yang merupakan trilogi dari Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna telah diterbitkan sejak 23 Januari 2011. Fuadi mendirikan Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan masyarakat yang kurang mampu, khususnya untuk usia pra sekolah. Memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan lulus pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, setelah lulus menjadi wartawan Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1998, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University.
Sinopsis
NEGERI 5 MENARA, novel karya A. Fuadi ini memperlihatkan betapa do­minannya parameter non-artistik dalam menentukan kualitas dan kedalaman sebuah karya sastra. Sampul belakang buku itu sarat dengan endorsement yang ditulis oleh nama-nama beken, mulai mantan presiden, sutradara tersohor, gubernur, budayawan, intelektual, hingga pimpinan pesantren. Hampir semua komentar itu menyingkapkan segi-segi etik dan didaktik dari novel setebal 416 halaman tersebut. Tak ada satu pun ulasan dari sudut pandang estetika sastrawi.
Berkisah tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat di Pondok Ma­dani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa) bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses).
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri PM yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ”Habibie”. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat genius, tapi sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulma­jid, Said, dan Atang.
Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di PM, setelah itu mereka wajib berbicara da­lam bahasa Arab atau bahasa Ing­gris. Bila aturan dilanggar, gan­jarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-ku­rangnya bakal dapat jeweran be­ran­tai. Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Sa­king kerasnya kemauan para sa­hibul-menara untuk menguasai per­cakapan dalam dua bahasa a­sing tersebut, igauan dalam tidur me­reka pun terungkap dalam baha­sa Arab.
Dengan deskripsi ruang yang nya­ris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pe­santren modern yang selama ini ha­nya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan hu­mor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Tengoklah belbagai alasan yang sengaja dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh izin keluar PM, bersepeda mengelilingi Kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren putri, sekadar ”nampang”.
Begitu pula siasat Dulmajid yang me­mengaruhi ustad Torik agar ber­oleh izin nonton bareng per­tandi­ngan final bulu tangkis di ling­ku­ngan PM, padahal qanun (atu­ran pondok) menegaskan, san­tri PM dilarang menonton TV. ”Us­tad, lob antum itu mirip sekali de­ngan punya Icuk dan smes antum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita tonton siaran lang­sung besok malam.”
Ustad Torik langsung takluk dan ter­jadilah peristiwa bersejarah itu: TV masuk PM. Lewat satirisme khas kaum santri itulah, segi-segi estetik novel tersebut dapat ditandai hingga martabat kenovelannya tidak semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etik saja. Bukankah jalan sastra adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terha­dap teks novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel tersebut. Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak bisa dielakkan karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan kepenti­ngan masing-masing.
Tak dimungkiri bahwa di balik ki­sah yang digarap A. Fuadi dalam bu­­­ku ini, ada pengalaman empiris, ka­­­takanlah semacam fakta-fakta ke­­ras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi muasal pe­­ngi­sa­hannya. Tapi, dalam kerja ke­pe­ngarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh ima­ji­nasi sehingga tidak bisa lagi di­lihat de­ngan kacamata hitam-pu­tih, tidak bisa diukur secara positi­vistik. ”Ima­jinasi” di sini bukan da­­lam pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya, Ara’ Ahl Ma­­dinah Wa Al-Fadhi­lah, me­nye­but­nya quwwatul mutta­khilah, se­macam potensi dalam subjek, yang berpijak pada pengalaman em­­p­iris dan penalaran (reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan ”fantasi” -yang tidak perlu berangkat dari pengalaman indrawi, apalagi penalaran. Dalam epis­temologi Al-Farabi, ”imajinasi” dalam batas-batas tertentu bahkan da­pat melampaui pencapaian akal-bu­di dan pengalaman empiris itu sendiri.
Maka, dunia imajiner dalam Ne­ge­ri 5 Menara bukan lagi semata-ma­ta dunia A. Fuadi dan sejawat-se­ja­watnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan re­uni bersejarah di Trafalgar Square, Lon­don, -setelah 15 tahun masa-ma­sa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferen­si di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara ba­kal menggenggam impian masing-ma­sing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses.

 IV.            KEKURANGAN

Menurut saya kekurangan dari novel ini adalah setting tidak selalu jelas, sehingga pembaca menjadi agak bingung menerka tempatnya ada pula  cerita ada yang terputus ditengah jalan karena disalah satu halaman terdapat cetakan yang tidak jelas.





  V.            KELEBIHAN
Menurut saya kelebihan dari novel ini adalah kisah yang di ceritakan sangat unik karena terdapat banyak budaya serta bahasa yang berbeda - beda ada di dalam cerita ini, dapat memberikan pencerahan kepada pembaca, ceritanya pun mampu menyentuh hati pembaca. Cerita yang di jelaskan di novel ini di jelaskan per sub-sub bab, cerita ini juga dapat mengubah pola pikir kita sebagai pemabaca tentang kehidupan pondok yang hanya belajar agama saja, karena di dalam novel ini selain belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu umum seperti bahasa inggris, arab, kesenian dll. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat menarik, ringan, deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah walaupun terdapat bahasa- bahasa daerah atau bahasa asing tetapi penulis menempatkan catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari bahasa yang tidak dimengerti oleh para pembaca dan terdapat unggapan-ungkapan dan pribahasa yang mampu memberikan semacam trade mark yang membuat novel ini lebih terkenang di hati pembaca. Dan di bagian akhir terdapat komentator dari tokoh-tokoh besar dan ternama .

VI.            Pendapat Resentator

Membaca novel ini membuat kita menyadari kekuatan impian. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Kita hanya perlu meyakini impian tersebut dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Novel ini begitu menginspirasi bagi pembacanya tentang kesungguhan, keikhlasan, serta persahabatan. Selamat membaca dan menemukan banyak hal positif dalam Negeri 5 Menara.
Novel ini dapat menjadi satu pengharapan bagi Indonesia, setidaknya masih ada pemuda di luar sana yang rela memberikan dirinya dipakai masa depan. Bukan menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan. Merupakan satu penghiburan bahwa masih ada orang-orang yang sungguh-sungguh rela belajar dan mengasah diri untuk dapat memberikan sumbangsih pada dunia, terutama pada tanah airnya sendiri. Namun novel ini juga dapat menjadi kisah yang mengiris hati karena menyadarkan kita bahwa hampir tidak ada generasi muda yang seperti itu, bahkan mungkin..
Pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan pernah meremehkan sebuah impian setinggi apapun itu, karena allah Maha mendengar doa dari umatNya.

0 komentar:

Posting Komentar