RESENSI NOVEL
“NEGERI 5 MENARA”
Resentator :
NURHILALIA
Kelas :
XI IPA 1
SMAN 1 BABELAN
Jl. Taman Kebalen Indah, Bekasi
2012 - 2013
I.
Identitas Novel
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Cetakaan : ke sepuluh Januari 2011
Kota Terbit : Jakarta
Jumlah Halaman : 424 hal
Desain dan Ilustrasi cover : Selamet Manginandan
Ilustrasi Peta :
Doddy R. Nasution
Setting :
Rahayu Lestari
II.
Jenis Buku
Buku yang saya baca ini merupakan inspiratif yang kisah-kisahnya
terinspirasi oleh kisah nyata si pengarang .
III.
Sinopsis
Pengarang
Ahmad Fuadi (lahir di Bayur Maninjau, Sumatera
Barat, 30
Desember 1972; umur 39 tahun) adalah novelis, pekerja sosial dan mantan wartawan dari Indonesia.
Novel pertamanya adalah novel Negeri
5 Menara yang merupakan buku pertama dari
trilogi novelnya. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk
berprestasi. Walaupun tergolong masih baru terbit, novelnya sudah masuk dalam
jajaran best seller tahun 2009. Kemudian meraih Anugerah
Pembaca Indonesia 2010 dan tahun
yang sama juga masuk nominasi Khatulistiwa
Literary Award, sehingga PTS Litera, salah satu
penerbit di negeri jiran Malaysia
tertarik menerbitkan di negaranya dalam versi bahasa
melayu. Novel keduanya yang merupakan
trilogi dari Negeri 5 Menara,
Ranah 3 Warna
telah diterbitkan sejak 23
Januari 2011.
Fuadi mendirikan Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu
pendidikan masyarakat yang kurang mampu, khususnya untuk usia pra sekolah. Memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo
dan lulus pada tahun 1992.
Kemudian melanjutkan kuliah Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran, setelah lulus menjadi wartawan Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas
reportasenya di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1998,
dia mendapat beasiswa Fulbright
untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University.
Sinopsis
NEGERI 5 MENARA, novel karya A. Fuadi ini memperlihatkan
betapa dominannya parameter non-artistik dalam menentukan kualitas dan
kedalaman sebuah karya sastra. Sampul belakang buku itu sarat dengan
endorsement yang ditulis oleh nama-nama beken, mulai mantan presiden, sutradara
tersohor, gubernur, budayawan, intelektual, hingga pimpinan pesantren. Hampir
semua komentar itu menyingkapkan segi-segi etik dan didaktik dari novel setebal
416 halaman tersebut. Tak ada satu pun ulasan dari sudut pandang estetika
sastrawi.
Berkisah tentang upaya keras enam orang santri di sebuah
pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah
menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan
kedisiplinan ekstraketat di Pondok Madani (PM), Alif (Padang), Atang
(Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa)
bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan
mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang
bersungguh pasti akan sukses).
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri PM
yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu.
Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ”Habibie”. Baginya, Habibie tidak dalam
arti seorang teknokrat genius, tapi sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat
kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan
pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun,
ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang
yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam
kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan
santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz
Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu
juga Raja, Dulmajid, Said, dan Atang.
Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia
bagi santri-santri baru di PM, setelah itu mereka wajib berbicara dalam bahasa
Arab atau bahasa Inggris. Bila aturan dilanggar, ganjarannya tidak main-main.
Bila tidak digunduli, sekurang-kurangnya bakal dapat jeweran berantai.
Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Saking kerasnya
kemauan para sahibul-menara untuk menguasai percakapan dalam dua bahasa asing
tersebut, igauan dalam tidur mereka pun terungkap dalam bahasa Arab.
Dengan deskripsi ruang yang nyaris sempurna, A. Fuadi
berhasil memetakan seluk-beluk dunia pesantren modern yang selama ini hanya
menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum
santri dengan humor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang
menakjubkan. Tengoklah belbagai alasan yang sengaja
dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh izin keluar PM, bersepeda
mengelilingi Kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren
putri, sekadar ”nampang”.
Begitu pula siasat Dulmajid yang memengaruhi ustad Torik
agar beroleh izin nonton bareng pertandingan final bulu tangkis di lingkungan
PM, padahal qanun (aturan pondok) menegaskan, santri PM dilarang menonton TV.
”Ustad, lob antum itu mirip sekali dengan punya Icuk dan smes antum mirip
Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita tonton siaran langsung besok malam.”
Ustad Torik langsung takluk dan terjadilah peristiwa
bersejarah itu: TV masuk PM. Lewat satirisme khas kaum santri itulah, segi-segi
estetik novel tersebut dapat ditandai hingga martabat kenovelannya tidak
semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etik saja. Bukankah jalan sastra
adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang
menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terhadap teks
novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel tersebut.
Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak
bisa dielakkan karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan
kepentingan masing-masing.
Tak dimungkiri
bahwa di balik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman
empiris, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang mondok di
Gontor yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi,
dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya
oleh imajinasi sehingga tidak bisa lagi dilihat dengan kacamata hitam-putih,
tidak bisa diukur secara positivistik. ”Imajinasi” di sini bukan dalam
pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya, Ara’
Ahl Madinah Wa Al-Fadhilah, menyebutnya quwwatul muttakhilah, semacam
potensi dalam subjek, yang berpijak pada pengalaman empiris dan penalaran
(reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan ”fantasi” -yang tidak perlu
berangkat dari pengalaman indrawi, apalagi penalaran. Dalam epistemologi
Al-Farabi, ”imajinasi” dalam batas-batas tertentu bahkan dapat melampaui
pencapaian akal-budi dan pengalaman empiris itu sendiri.
Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara bukan lagi
semata-mata dunia A. Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah
yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London,
-setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai
ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya.
Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu
pada sebuah konferensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka
tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal menggenggam impian masing-masing.
Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal
sukses.
IV.
KEKURANGAN
Menurut saya kekurangan dari novel ini adalah setting
tidak selalu jelas, sehingga pembaca menjadi agak bingung menerka tempatnya ada
pula cerita ada yang terputus ditengah
jalan karena disalah satu halaman terdapat cetakan yang tidak jelas.
V.
KELEBIHAN
Menurut
saya kelebihan dari novel ini adalah kisah yang di ceritakan sangat unik karena
terdapat banyak budaya serta bahasa yang berbeda - beda ada di dalam cerita
ini, dapat memberikan pencerahan kepada pembaca, ceritanya pun mampu menyentuh
hati pembaca. Cerita yang di jelaskan di novel ini di jelaskan per sub-sub bab,
cerita ini juga dapat mengubah pola pikir kita sebagai pemabaca tentang
kehidupan pondok yang hanya belajar agama saja, karena di dalam novel ini
selain belajar ilmu agama, ternyata juga belajar ilmu umum seperti bahasa
inggris, arab, kesenian dll. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat
menarik, ringan, deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan
wawasan berbagai macam bahasa daerah walaupun terdapat bahasa- bahasa daerah
atau bahasa asing tetapi penulis menempatkan catatan kaki di bagian bawah yang
menjelaskan arti dari bahasa yang tidak dimengerti oleh para pembaca dan terdapat
unggapan-ungkapan dan pribahasa yang mampu memberikan semacam trade mark
yang membuat novel ini lebih terkenang di hati pembaca. Dan di bagian akhir
terdapat komentator dari tokoh-tokoh besar dan ternama .
VI.
Pendapat
Resentator
Membaca
novel ini membuat kita menyadari kekuatan impian. Jangan pernah remehkan
impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Kita hanya perlu
meyakini impian tersebut dan bekerja keras untuk mewujudkannya. Novel ini
begitu menginspirasi bagi pembacanya tentang kesungguhan, keikhlasan, serta
persahabatan. Selamat membaca dan menemukan banyak hal positif dalam Negeri 5
Menara.
Novel ini dapat
menjadi satu pengharapan bagi Indonesia, setidaknya masih ada pemuda di luar
sana yang rela memberikan dirinya dipakai masa depan. Bukan menempatkan masa
depan di tangan sendiri untuk ia tentukan. Merupakan satu penghiburan bahwa
masih ada orang-orang yang sungguh-sungguh rela belajar dan mengasah diri untuk
dapat memberikan sumbangsih pada dunia, terutama pada tanah airnya sendiri.
Namun novel ini juga dapat menjadi kisah yang mengiris hati karena menyadarkan
kita bahwa hampir tidak ada generasi muda yang seperti itu, bahkan mungkin..
Pelajaran yang dapat dipetik adalah jangan pernah
meremehkan sebuah impian setinggi apapun itu, karena allah Maha mendengar doa
dari umatNya.
0 komentar:
Posting Komentar